Menu Utama
Sejarah Ponpes
Fasilitas Ponpes
Artikel Santri
Gallery
Agenda Ponpes
Bahtsul Masaail
Buku Tamu

  Link Islam
Ponpes Lirboyo
Gus Dur
Gus Mus
Islam Liberal
Iwan Hafidz Z
Islam Emansi

  MUQODIMAH

Assalamu'alaikum...
Selamat datang di Website Pondok Pesantren Zumrotuttholibin Kacangan di Mojo Andong Boyolali. Semoga website ini mampu mewakili kami dalam menyampaikan informasi tentang Pondok Pesantren Zumrotuttholibin kepada Masyarakat.



  TEMPAT IKLAN

SILAHKAN PASANG IKLAN DI SINI
HUBUNGI EMAIL KAMI...



























Maqashid Syari'ah Sebagai Metode Hukum di Indonesia
Oleh:H.Iwan Hafidz Zaini S.HI
29/11/2006

Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara karena kesamaan ras. Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan.

Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas upaya besar founding fathers, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara memantapkan rasa kebangsaan Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat kita yang beragam suku, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia.

Tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno di depan sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membacakan pidatonya mengenai bentuk negara dalam rumusan lima prinsip dasar yang akhirnya dinamai Pancasila.

Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan.

Undang-undang bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Pembentukan undang-undang selalu dipengaruhi kultur, sosial, dan moralitas masyarakat yang membentuknya.

Saat ini Indonesia sudah berhasil melakukan constitutional reform (pembaruan konstitusi) secara besar-besaran. Karena itu, perlu dilanjutkan dengan agenda legal reform (pembentukan dan pembaruan hukum) yang juga besar-besaran. Bidang-bidang hukum yang memerlukan pembentukan dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu (i) bidang politik dan pemerintahan, (ii) bidang ekonomi dan dunia usaha, (iii) bidang kesejahteraan sosial dan budaya, serta (iii) bidang penataan sistem dan aparatur hukum (komisihukum.go.id:2007).

Seiring dengan demokratisasi dan desentralisasi sejak runtuhnya Soeharto dengan Orde Baru-nya terjadi kebangkitan peran agama dalam proses politik di Indonesia. Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan kelihatan sangat menonjol sejak Revolusi Iran 1979.(Armstrong,2001:501). Sejak itu, peran agama dalam politik -dalam hal ini Islam-, bukan hanya dalam gerakan sosial (social movement), melainkan ia menjadi bagian dari politik kenegaraan (politik tengah) dan kekuasaan.

Di Indonesia fenomena ini biasa disebut sebagai birokratisasi Islam, hal itu terjadi sejak berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990. ICMI adalah fenomena bersatunya kekuasaan otoriter Orde Baru dengan para aktivis Muslim yang merambisi menguasai Negara di Indonesia.

Sejak itu ada semacam pergeseran strategi kalangan Islamis dari Islamisasi Negara dengan mengubah landasan dan dasar negara Pancasila menjadi Islam ke arah birokratisasi Islam.

Birokratisasi Islam melalui perundangan-undangan dan berbagai aturan yang bernuansa Syari’ah Islam rupanya makin intensif terjadi justru ketika masa demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi daerah sekarang ini. Di samping berbagai rancangan UU dalam tingkat nasional, seperti UU Zakat, RUU Perkawaninan, RUU Waris dan sebagainya hingga peraturan-peraturan perbankan, juga tumbuhnya berbagai Perda (Peraturan Daerah) dan juga Surat Keputusan (SK) Bupati dan Walikota yang berkaitan dengan hal ini. Aturan dan perundang-undangan yang merupakan derivasi dari Syari’ah Islam.

Selama ini, sebagian besar umat Islam Indonesia mempunyai pandangan bahwa hukum Islam itu seperti pezina dirajam, pencuri dipotong tangannya, pembunuh harus dihukum bunuh (qishash), dan wanita wajib berjilbab. Dengan demikian, jika menghendaki negara Islam, maka hukum Islam seperti inilah yang harus diterapkan. Benarkah begitu?

Sebenarnya, kita tidak harus meniru seperti yang terjadi di Arab Saudi karena sosio kultural di Negeri Kaya Minyak itu sangat berbeda dengan Indonesia. Itu hanyalah contoh. Substansinya bukan terletak dari model-model hukuman, tapi orang yang melakukan kejahatan harus dihukum seberat-beratnya agar tidak mengulangi lagi.

Boleh saja menginginkan negara Islam (bukan dalam konteks mendirikan negara baru atau separatisme), asal negara Islamnya disesuaikan dengan konteks ke-Indonesia-an yang multikultural.

Ada tawaran konsep negara Islam yang cocok dengan kondisi sosio kultural bangsa Indonesia yang plural ini, yaitu memisahkan antara dosa vertikal (dosa terhadap Tuhan) atau syariah individual dan dosa horisontal (dosa kepada sesama manusia) atau syariah publik.

Untuk dosa vertikal seperti tidak memakai jilbab, meninggalkan salat, berzina, serta tidak berpuasa atau singkatnya tidak menjalankan syariah secara individual, Tuhan saja yang menghukumnya. Karena itu termasuk hablun minallah (hubungan dengan Tuhan). Ada pun dosa horisontal seperti membunuh, mencuri, korupsi, dan tindakan kejahatan lainnya, manusia bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menghukumnya. Oleh karena itu, kedua hal (syariah individual dan publik) itu sama-sama hukum Tuhan. Hanya saja yang menghukum berbeda.

Tidak bisa pemerintah Indonesia memerangi orang yang tidak salat dan berpuasa, menilang orang yang tidak berjilbab, berkemben, berkoteka, menangkapi orang-orang yang berzina, atau memberikan fatwa hukuman mati kepada orang yang mempunyai aqidah berbeda dengan kebanyakan orang. Biarkan saja mereka sendiri yang mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Yang harus diperjuangkan umat Islam (juga umat lainnya, termasuk yang tidak beragama sekalipun) mestinya bukan menyangkut dosa vertikal, melainkan memerangi dosa horisontal seperti korupsi, illegal logging, illegal fishing, pembajakan, eksploitasi seksual, terorisme, serta perdagangan anak dan wanita (trafficking). Umat Islam harus punya solusi konkret mengenai hal ini. Bukan berarti umat Islam yang mengabaikan salat, puasa, dan jilbab itu tidak diurusi. Itu semua tetap diurusi dalam kaitannya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (tawashau bilhaqqi wa tawashau bisshabr), tidak perlu dilakukan secara paksa apalagi melalui ''tangan besi'' negara.

Karena itu, Indonesia yang mempunyai UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perlindungan terhadap anak dan perempuan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor), UU Antiterorisme, Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), UU Pers, UU Kewarganegaraan, narkoba dan lain-lain, berarti Indonesia sudah menjadi negara Islam. Sebab, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip umum universal yang dalam tradisi pengkajian Islam klasik disebut sebagai maqoshid syariah atau tujuan-tujuan hukum Islam. Prinsip-prinsip itu adalah menjaga kebebasan beragama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga harta (hifdz al-mal), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga akal (hifdz al-'aql). Jika kelima prinsip itu terpenuhi, maka Indonesia sudah menjadi negara Islam ala Indonesia. Tanpa harus menyatakan secara formal bahwa dasar negaranya adalah Alquran dan Sunnah.

Wallahu a'lam bisshowab



*Penulis adalah dosen UNU Surakarta di Andong, mahasiswa pasca sarjana UMS dan ustadz Ponpes Zumrotuttholibin
BACK>>>

Selamat Datang di Website Ponpes Zumrotuttholibin Fasilitas: Asrama, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyah Ma'arif, Madrasah Aliyah Al-Azhar, Universitas Nahdlatul Ulama' (Cabang Surakarta), Pendidikan Komputer, Pertanian, Peternakan, dll..? Mencetak Ulama' Handal




  JAM

  Info Pengajian Kitab
1. Nashoihul 'Ibad(Ba'da Maghrib)
2. Shohih Bukhori (21.00 WIB)
3. Ihya' Ulumuddin (21.00 WIB)
4. Durrotunnasihin (21.30 WIB)

  ARTIKEL 2

Indonesia sebagaimana kita ketahui menganut konsep demokrasi Barat, di mana kedaulatan di tangan rakyat dan elemen-elemen prosedural seperti pemilihan umum yang bebas, persamaan di depan hukum, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers diterapkan dan dilindungi oleh negara. Sementara itu penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam secara umum adalah penganut paham Sunni, khususnya paham Asy'ariyah di bidang teologi dan Syafi'iyyah di bidang fikih.

Seiring dengan demokratisasi dan desentralisasi sejak runtuhnya Soeharto dengan Orde Baru-nya terjadi kebangkitan peran agama dalam proses politik di Indonesia. Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan..




Web design By zaenny_07@yahoo.com
Bagi yang ingin mengirim artikel untuk kontribusi baca umat silahkan kirim ke email=ponpeszumro@yahoo.com
Terima kasih
  (C)2006